Lokal vs internasional

Habis mendengar cerita teman perantauan tentang pengalamannya saat pulang kampung,

“Kampungku sudah banyak perbedaan, banyak bangunan baru yang dibangun, tapi banyak jalan yang malah rusak, suasana rumah berbeda dengan saat kutinggal dulu, tapi lebih kerasa lagi situasinya beda dengan diperantauan, malah jadi gak betah di rumah, luwih krasan diperantauan.”
Mungkin yang berubah tidak hanya jalan dan bangunan, tapi mental dan wawasan nya, karena memang perantauan menjadi kawah candradimuka seseorang, dan jelas perbedaan kondisi sosial ekonomi indonesia dibanding negara seberang sangat jauh berbeda.
“Tapi knapa kebanyakan temenku ndak minat ikut merantau ya? ” Lanjutnya
“Di perantauan gak ada ndangdut, klo hidup gak ada ndangdut gak seru, disini (rumah-red) bisa ndangdut tiap malem minggu ditambah ciu, wis enak” kalimatnya menirukan kata kata temannya di kampung.

Mungkin disini teori evolusi dan revolusi sedikit tersenggol, survival of the fittest berupa seleksi akan perubahan mental dan mindset mengenai pola sosial ekonomi seseorang.  
Mereka yang bisa beradaptasi dengan perubahan kemajuan terkadang akan sudah me reset kembali ke default lingkungan awal mereka berangkat dan kadang mereka yang enggan ber evolusi maju akan terjebak pada kehidupan stagnan yang disekitar situ dan hal itu-itu saja.
Ada peribahasa kacang lupa akan kulitnya, namun dengan sudut pandang lain mungkin bisa juga dilihat kemana si kacang pergi meninggalkan kulit, ketika dia diolah menjadi kacang atom atau kacang bawang yang nikmat dan menjadi kesukaan banyak orang, kacang sudah mengalami evolusi, kelas nya sudah meningkat bukan lagi lokal tapi sudah internasional.

Then what’s i’m gonna be?
Next big question

#galaudiusiasetengahtua

Leave a comment